Definisi KonflikKonflik sebagai suatu proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain akan atau telah mempengaruhi secara negatif, sesuatu yg menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama.Konflik (organisasi) dapat terjadi karena perbedaan pendapat, pandangan, interpretasi, persepsi serta kepentingan antar individu atau antar kelompok dalam organisasi, yang menimbulkan bertentangan atau perselisihan.Keberadaan konflik dalam organisasi dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum . konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
Pandangan Konflik ada 3:
Robbin mengatakan konflik dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.Oleh karena itu konflik harus dihindari.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatukelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
Faktor penyebab konflik
• Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaanyang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
• Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
• Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
• Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada
Proses Konflik
1. Tahap 1:
Potensi Pertentangan atau Ketidakselarasan
Tahap pertama ini adalah munculnya
kondisi-kondisi yang menciptakan peluang bagi pecahnya konflik. Kondisi-kondisi
tersebut tidak harus mengarah langsung pada konflik, tetapi salah satunya
diperlukan jika konflik akan muncul. Secara sederhana, kondisi-kondisi tersebut
dapat dipadatkan ke dalam tiga kategori umum, yaitu:
a.
Komunikasi
Sebuah
ulasan mengenai penelitian menunjukkan bahwa konotasi kata yang menimbulkan
makna yang berbeda, pertukaran informasi yang tidak memadai, dan kegaduhan pada
saluran komunikasi merupakan hambatan komunikasi dan kondisi potensial
pendahulu yang menimbulkan konflik. Penelitian menunjukkan bahwa potensi
konflik meningkat ketika terjadi terlalu sedikit atau terlalu banyak informasi.
Jelas, meningkatnya komunikasi menjadi fungsional sampai pada suatu titik, dan
diatasnya dengan terlalu banyak komunikasi, meningkat pula potensi konflik.
b. Struktur
Istilah
struktur digunakan dalam konteks ini untuk mencakup variabel-variabel seperti
ukuran, kadar spesialisasi dalam tugas-tugas yang diberikan kepada anggota
kelompok, keserasian antara anggota dan tujuan, gaya kepemimpinan, sistem
imbalan, dan kadar ketergantungan antar kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa
ukuran dan spesialisasi bertindak sebagai daya yang merangsang konflik. Semakin
besar kelompok dan semakin terspesialisasi kegiatan-kegiatannya, semakin besar
pula kemungkinan terjadinya konflik. Semakin besar ambiguitas dalam
mendefinisikan secara tepat dimana letak tanggung jawab atas tindakan, semakin
besar potensi munculnya konflik.
c.
Variabel-variabel Pribadi
Kategori
ini meli[uti kepribadian, emosi, dan nilai-nilai. Bukti menunjukkan bahwa jenis
kepribadian tertentu memiliki potensi memunculkan konflik. Emosi juga dapat
menyebabkan konflik. Nilai yang berbeda-beda yang dianut tiap-tiap anggota
dapat menjelaskan munculnya konflik
2. Tahap 2:
Kognisi dan Personalisasi
Sebagaimana yang telah disinggung dalam definisi
mengenai konflik, disyaratkan adanya persepsi. Karena itu, salah satu pihak
(atau lebih) harus menyadari adanya kondisi-kondisi pendahulu. Namun karena
suatu konflik yang dipersepsi, tidak berarti bahwa konflik itu dipersonalisasi.
Konflik yang dipersepsi merupakan kesadaran oleh satu atau lebih pihak akan adanya kondisi-kondisi yang menciptakan
peluang munculnya konflik. Pada tahap ini mungkin tidak berpengaruh apapun pada
perasaan satu dan yang lainnya. Baru pada tingkat perasaan, yaitu ketika orang
mulai terlibat secara emosional, para pihak tersebut merasakan kecemasan,
ketegangan, frustasi, atau rasa bermusuhan.
Tahap ini penting karena disinilah isu-isu
konflik biasanya didefinisikan. Pada tahapan proses inilah, para pihak
memutuskan konflik itu tentang apa, dan pada akhirnya ini sangat penting karena
cara sebuah konflik didefinisikan akan menentukan jalan panjang menuju akhir
penyelesaian konflik.
3. Tahap 3: Maksud
Mengintervensi antara persepsi serta emosi orang
dan perilaku mereka. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dengan cara
tertentu. Seseorang harus menyimpulkan maksud orang lain untuk mengetahui
bagaimana sebaiknya menanggapi perilakunya itu. Banyak konflik bertambah parah
semata-mata karena salah satu pihak salah dalam memahami maksud pihak lain.
Selain itu, biasanya ada perbedaan yang besar antara maksud dan perilaku, sehingga
perilaku tidak selalu mencerminkan secara akurat maksud seseorang.
Dengan menggunakan sifat kooperatif (kadar
sampai mana salah satu pihak berupaya memuaskan kepentingan pihak lain) dan
sifat tegas (kadar sampai mana salah satu pihak berupaya memperjuangkan
kepentingannya sendiri), lima maksud penanganan konflik berhasil
diidentifikasi:
a. Bersaing
Yaitu
hasrat untuk memuaskan kepentingan pribadi, tanpa memedulikan dampaknya atas
pihak lain yang berkonflik dengannya. Perilaku ini mencakup maksud untuk
mencapai tujuan anda dengan mengorbankan tujuan orang lain, berupaya meyakinkan
orang lain bahwa kesimpulan anda benar dan kesimpulannya salah, dan mencoba
membuat orang lain dipersalahkan atas suatu masalah.
b. Bekerja sama
Yaitu
suatu situasi dimana pihak-pihak yang berkonflik ingin sepenuhnya memuaskan
kepentingan kedua belah pihak. Maksud para pihak adalah menyelesaikan masalah
dengan memperjelas perbedaan ketimbang mengakomodasi berbagai sudut pandang.
c.
Menghindar
Yaitu
hasrat untuk menarik diri dari konflik atau menekan sebuah konflik. Maksud dari
perilaku ini adalah mencoba mengabaikan suatu konflik dan menghindari orang
lain yang berbeda pendapat.
d. Akomodatif
Yaitu
kesediaan salah satu pihak yang berkonflik untuk menempatkan kepentingan
lawannya di atas kepentingannya sendiri. Maksud dari perilaku ini adalah supaya
hubungan tetap terpelihara, salah satu pihak bersedia berkorban.
e. Kompromis
Yaitu
situasi dimana masing-masing pihak yang berkonflik bersedia mengalah dalam satu
atau lain hal. Saat itulah terjadi tindakan berbagi yang mendatangkan kompromi.
Maksud kompromis ini tidak jelas siapa yang menang dan kalah. Tiba-tiba muncul
kesediaan dari pihak-pihak yang berkonflik untuk membatasi objek konflik dan
menerima solusi meski sifatnya sementara. Karena itu, cirri khas maksud
kompromis adalah masing-masing pihak rela menyerahkan sesuatu atau mengalah.
4. Tahap 4: Perilaku
Tahap perilaku meliputi pernyataan, aksi dan reaksi yang dibuat oleh
pihak-pihak yang berkonflik. Perilaku konflik ini biasanya merupakan upaya
kasat mata untuk mengoperasikan maksud dari masing-masing pihak. Tetapi
perilaku ini memiliki kualitas stimulus yang berbeda dari maksud.
Jika konflik bersifat disfungsional, maka perlu dilakukan berbagai teknik
penting untuk meredakannya. Para manajer mengendalikan tingkat konflik dengan
manajemen konflik (conflict management), yaitu pemanfaatan teknik-teknik
resolusi dan dorongan (stimulasi) untuk mencapai tingkat konflik yang
diinginkan.
5. Tahap 5: Akibat
Jalinan aksi-reaksi antara pihak-pihak yang berkonflik menghasilkan
konsekuensi. Akibat atau konsekuensi itu bisa bersifat fungsional, dalam arti
konflik tersebut menghasilkan kinerja kelompok, atau juga bisa bersifat
disfungsional karena justru menghambat kinerja kelompok.
a.
Akibat fungsional
Meningkatnya
keragaman kultur dari anggota dapat memberikan manfaat lebih besar bagi
organisasi. Penelitian memperlihatkan bahwa heterogenitas antaranggota kelompok
dan organisasi dapat meningkatkan kreativitas, memperbaiki kualitas
keputusandan memfasilitasi perubahan dengan cara meningkatkan fleksibilitas
anggota.
b.
Akibat disfungsional
Pertengkaran
yang tak terkendali menumbuhkan rasa tidak senang, yang menyebabkan ikatan
bersama renggang, dan pada akhirnya menuntun pada kehancuran kelompok. Diantara
konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan tersebut, terdapat lambannya
komunikasi, menurunnya kekompakan kelompok, dan subordinasi tujuan kelompok
oleh dominasi perselisihan antar anggota.
c.
Menciptakan konflik fungsional
Salah satu
cara organisasi menciptakan konflik fungsional adalah dengan memberi
penghargaan kepada orang yang berbeda pendapat dan menghukum mereka yang suka
menghindari konflik.
Teknik Pemecahan
Konflik:
a.
Pemecahan Masalah
Pertemuan tatap muka
pihak – pihak yang berkonflik dengan maksud mengidentifikasi masalah dan
memecahkannya melalui pembahasan terbuka.
b.
Sasaran Atasan
Menciptakan sasarn
bersama yang tidak dapat dicapai tanpa kerjasama masing – masing pihak yang
berkonflik.
c.
Perluasan Sumberdaya
Bila konflik disebabkan
oleh kelangkaan sumber daya (seperti: uang, kesempatan promosi, ruangan kantor)
perluasan sumber daya dapat menciptakan solusi yang saling menguntungkan.
d.
Penghindaran
Menarik diri atau
menekan konflik.
e.
Penghalusan
Meminimalkan arti
perbedaan sekaligus menekankan kepentingan bersama antara pihak – pihak yang
berkonflik.
f.
Kompromi
Setiap pihak yang
berkonflik itu mengorbankan sesuatu yang berharga.
g.
Komando Otoriter
Manajemen menggunakan
wewenang formalnya untuk menyelesaikan konflik dan kemudian mengkomunikasikan
keinginannya ke pihak – pihak yang terlibat.
h.
Mengubah Variabel Manusia
Menggunakan teknik
pengubahan perilaku manusia, misalnya: pelatihan hubungan manusia untuk
mengubah sikap dan perilaku yang menyebabkan konflik.
i.
Mengubah Variabel Struktur
Mengubah struktur
organisasi formal dan pola structural interaksi pihak – pihak yang berkonflik
melalui perancangan ulang pekerjaan, pemindahan, penciptaan posisi koordinasi,
dan sejenisnya.
Negosiasi
Definisi Negosiasi
Robbins
( 2008) menyimpulkan negosiasi adalah sebuah proses di mana dua pihak atau
lebih melakukan pertukaran barang atau jasa dan berupaya untuk menyepakati
nilai tukarnya.
Negosiasi
adalah suatu upaya yang dilakukan antara pihak-pihak yang berkonflik dengan
maksud untuk mencari jalan keluar untuk menyelesaikan pertentangan yang sesuai
kesepakatan bersama.
Strategi Negosiasi
1. Negosiasi
Menang-Kalah ( Win-Lose )
Pandangan klasik menyatakan bahwa negosiasi
terjadi dalam bentuk sebuah permainan yang nilai totalnya adalah nol ( zero sum
game ). Artinya apapun yang terjadi dalam negosiasi pastilah salah satu
pihak akan menang, sedangkan pihak yang lainnya kalah, atau biasa dikenal
dengan pendekatan distributif.
2. Negosiasi
Menang-Menang ( Win-Win )
Pendekatan yang sama-sama menguntungkan, atau
pendekatan integratif , dalam bernegosiasi memberikan cara pandang yang berbeda
dalam proses negosiasi. Negosiasi menang-menang adalah pendekatan penjumlahan
positif. Situasi –situasi penjumlahan positif adalah pendekatan di mana
setiap pihak mendapatkan keuntungan tanpa harus merugikan pihak lain
Dalam
konteks organisasi, negosiasi dapat terjadi antara dua orang ( seperti antara
atasan dengan bawahan), dalam satu kelompok ( seperti pada kebanyakan proses
pengambilan keputusan dalam kelompok), antarkelompok ( seperti yang terjadi
antara departemen pembelian dan penyedia material mengenai harga, kualitas,
atau tanggal pengiriman, melalui internet).
Proses Negosiasi
Robbins (2008) menjelaskan tahap-tahap negosiasi
sebagai berikut:
1. Persiapan dan
perencanaan :sebelum bernegosiasi perlu mengetahui apa tujuan dari Anda
bernegosiasi dan memprediksi rentangan hasil yang mungkin diperoleh dari
“paling baik” hingga “paling minimum bisa diterima”.
2. Penentuan
aturan dasar: begitu selesai melakukan perencanaan dan menyusun strategi,
selanjutnya mulai menentukan aturan-aturan dan prosedur dasar dengan pihak lain
untuk negosiasi itu sendiri. Siapa yang akan melakukan perundingan? Di mana
perundingan akan dilangsungkan? Kendala waktu apa, jika ada , yang mungkin akan
muncul? Pada persoalan-persoalan apa saja negosiasi dibatasi? Adakah prosedur
khusus yang harus diikuti jika menemui jalan buntu? Dalam fase ini, para pihak
juga akan bertukar proposal atau tuntutan awal mereka.
3. Klarifikasi dan
justifikasi: ketika posisis awal sudah saling dipertukarkan, baik pihak pertama
maupun kedua akan memaparkan, menguatkan, mengklarifikasi, mempertahankan, dan
menjustifikasi tuntutan awal.
4. Tawar – menawar dan Penyelesaian Masalah
Hakikat proses negosiasi
terletak pada tindakan memberi dan menerima yang sesungguhnya dalam rangka
mencari suatu kesepakatan.
5. Penutupan dan implementasi : tahap akhir
dalam negosiasi adalah memformalkan kesepakatan yang telah dibuat serta
menyusun prosedur yang diperlukan untuk implementasi dan pengawasan pelaksanaan.
Untuk negosiasi – negosiasi besar yang mencangkup segala sesuatu dari negosiasi
buruh – manajemen sampai tawar – menawar ketentuan sewa – beli untuk pembelian
real estat samapi negosiasi penawaran kerja untuk posisi manajemen senior.
Tahap ini mensyaratkan kesepakatan mengenai hal – hal spesifik dalam kontrak
formal. Namun pada kebanyakan kasus, penutupan proses negosiasi tidak lebih
formal dari sekadar berjabat tangan.
Isu-isu
dalam Negosiasi
Ada empat isu kontemporer di dalam
negosiasi, yaitu:
a. - Peran suasana hati dan sifat kepribadian dalam negosiasi
Para perunding yang
mempunyai suasana hati positif cenderung memperoleh hasil yang lebih baik
daripada bersuasana hati negatif. Karena perunding yang gembira lebih
mempercayai pihak lain maka mencapai lebih banyak penyelesaian yang saling
menguntungkan. Misalnya Ibas adalah seorang manajer yang pandai di dalam
bernegosiasi. Ibas setiap mulai berunding selalu mengeluarkan kelakar atau
menekankan sisi positif dari apa yang hendak dipertaruhkan. Teknik yang
dilaksanakan oleh Ibas ini membuat lawannya mengajukan penawaran secara lebih
integratif karena mereka menyampaikan prioritas mereka, lebih akurat dalam
mepersepsikan kepentingan pihak lain, dan berpikir lebih kreatif.
-Hasil penelitian
membuktikan bahwa hubungan kepribadian dengan negosiasi menunjukkan sifat-sifat
kepribadian tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan terhadap proses
tawar menawar. Contohnya para perunding yang ekstrovet seringkali gagal total
ketika harus melakukan tawar menawar distributif karena orang-orang ekstrovet
suka menyenangkan hati orang lain dan bersahabat cenderung suka berbagi
informasi. Jadi, penawar distributif terbaik adalah orang introvert yang tidak
terlalu ramah. Selain itu, ego juga berpengaruh dalam negosiasi. Orang yang
mampu melepas ego mereka sendiri mampu menegosiasikan kesepakatan secara lebih
baik (baik negosiasi distributif ataupun integratif).
b. -
Perbedaan gender dalam negosiasi
Laki-laki dan wanita
tidak mempunyai perbedaan dalam bernegosiasi. Tetapi gender mempengaruhi
negosiasi walaupun terbatas. Keyakinan bahwa wanita lebih menyenangkan dalam
bernegosiasi tidak dapat dijadikan patokan karena jarang wanita yang menduduki
posisi manajemen puncak. Terdapat sebuah penelitian bahwa seseorang yang tidak
mempunyai banyak kekuasaan (tanpa melihat jenis kelamin) cenderung berusaha
menyenangkan lawan mereka dan menggunakan taktik persuasif yang lembut daripada
konfrontasi langsung dan ancaman. Kesimpulannya bahwa perempuan bisa menjadi
terlalu menghukum diri sendiri karena tidak bisa ikut dalam negosiasi padahal
ini merupakan kepentingan terbesar mereka.
c. -
Perbedaan kultur dalam negosiasi
Gaya negosiasi
antara budaya satu dengan yang lainnya tentu berbeda (Adler, 2002). Orang
Perancis menyukai konflik, orang Cina suka mengulur-ulur perundingan tapi
mereka mempunyai kepercayaan bahwa hal ini tidak akan pernah selesai, orang
Jepang didalam bernegosiasi melakukan komunikasi secara tidak langsung
sedangkan orang Amerika cenderung tidak sabar dalam berunding dan selalu ingin
untuk disukai.
Berikut ini ada satu
studi yang membandingkan orang Amerika Utara, Arab dan Rusia yang dilakukan
oleh Glenn, Witmeyer dan Stevenson pada tahun 1977. Glenn et all melihat dari
faktor-faktor sebagai berikut:
- -
Gaya bernegosiasi
- -
Cara menanggapi argumen lawan
- -
Pendekatan untuk menghasilkan konsensi
- -
Cara menangani negosiasi dengan tenggang waktu yang ditentukan
Ada empat peran pokok pihak ketiga,
yaitu:
-
Mediator
Pihak ketiga yang bersikap netral yang
menfasilitasi negosiasi solusi dengan menggunakan penalaran dan persuasi,
menyodorkan alternatif dan semacamnya. Mediator banyak digunakan dalam
negosiasi buruh dengan manajer dan dalam sengketa perdata.
- Arbitrator
Pihak ketiga yang memiliki wewenang
untuk menentukan kesepakatan. Arbitrasi bisa bersifat voluntary ataupun mandatory.
Kelebihan arbitrasi dibanding mediator adalah arbitrasi selalu menghasilkan
penyelesaian.
- Konsiliator
Pihak ketiga yang dipercaya untuk
membangun relasi komunikasi informal antara perunding dan lawannya. Konsiliasi
banyak digunakan dalam sengketa internasional, buruh dan masyarakat. Dalam
praktiknya biasanya konsiliator bertindak lebih dari sekedar saluran
komunikasi.
- Konsultan
Pihak ketiga yang terlatih dan tak
berpihak yang berupaya menfasilitasi pemecahan masalah melalui komunikasi dan
analisis dengan dibantu oleh pengetahuan mereka mengenai manajemen konflik.
Peran konsultan adalah memperbaiki hubungan antara pihak-pihak yang berkonflik
sehingga mereka dapat mencapai penyelesaian sendiri.
I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar